Education

Education
Jasa ADVOKAT - PENGACARA Contact 082112573759 Email : garda.sejahtera@gmail.com

VIVAnews

Menu

Belajar Hukum

Selamat datang di blog Pribadi, Blog ini membahas tentang Istilah-Istilah dalam bahasa hukum dan Isu,artikel hukum terbaru

Bisnis Tiket Pesawat Online

Search

Visitor

Rabu, 27 April 2011

Tips Menghadapi permasalahan HUKUM

Kasus hukum sering dirasa sebagai kasus yang eksklusif. Meskipun kasus hukum mendapat porsi utama dalam pemberitaan media massa, namun bagi sebagian kalangan untuk memahami secara mendalam terbilang sulit. Wajar saja, karena itu muncul profesi pengacara, konsultan hukum, bantuan hukum gratis, dan lain sebagainya.

Apalagi melihat kondisi masyarakat yang belum melek hukum sepenuhnya. Justru kasus hukum dianggap kelewat menyeramkan. Maka dari itu, bermunculan masyarakat kecil yang diperas oleh oknum lembaga hukum ketika ditakuti soal (ancaman) hukum.

Membaca

Apa langkah pertama yang mesti dilakukan untuk memahami kasus hukum? Jawabannya membaca.

Koran.
Membaca koran penting untuk mengetahui kasus hukum yang tengah hangat diperbincangkan. Dengan intensitas yang kian sering membaca koran, otak kita akan terlatih dan terbiasa untuk memahami struktur permasalahan kasus hukum. Apalagi, koran tidak hanya memberitakan satu atau dua saja kasus hukum saja. Tapi banyak jumlahnya.
Buku.
Apa salahnya Anda membaca KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), buku seputar hukum, dan buku lainnya. Setelah asupan berita yang Anda terima dari koran, membaca buku akan kian mendalami kasus hukum tersebut. Di dalam buku, Anda akan mendapati banyak teori, argumen hukum, dan ulasan mendalam soal kasus hukum. Setidaknya Anda tidak akan terlalu buta memahami kasus hukum ketika kasus hukum mendera Anda.
Bantuan Hukum

Bila membaca masih dirasa kurang, ada baiknya Anda melakukan hal berikut.

Melakukan konsultasi hukum.
Banyak konsultasi hukum yang tidak meminta bayaran alias gratis. Coba saja search di internet dengan kata kunci: konsultasi hukum gratis. Niscaya, Anda akan mendapatkan banyak referensi untuk melakukan konsultasi hukum.


Berganbung dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Jika Anda memang menaruh minat yang dalam mengenai kasus hukum, ada baiknya ikut lembaga swadaya masyarakat yang bergiat di seputar hukum. Selain mendapat pengetahuan dan informasi, Anda juga akan mendapat link di dunia hukum.

Tips & Trik

Hal yang paling penting diingat ketika terjebak pada kasus hukum adalah:

Jangan panik.
Ya, mendengar soal hukum saja bisa membuat bulu kuduk bergidik sehingga sebagian orang panik dan memilih jalur kongkalikong. Tenanglah dan jangan panik. Lebih baik Anda simak terlebih dahulu uraian dari para penegak hukum.


Menanyakan opsi.
Ketika penegak hukum memaparkan kasus hukum yang Anda hadapi, tanyakan pada yang bersangkutan, apa saja opsi-opsi yang mengikutinya. Ini bukan termasuk cara ingin 'damai', tapi sebuah konskuensi dan pilihan. Seperti kasus tilang, jika mengikuti jalur non damai kita harus diwajibkan bayar uang di pengadilan.


Second opinion.
Ketika Anda merasa sangat minim pengetahuan, Anda jangan langsung mengambil keputusan dengan mengiyakan apa yang dimaui oleh penegak hukum. Lebih baik Anda bertanya terlebih dahulu untuk mendapatkan second opinion.

Selasa, 26 April 2011

Hukuman mati untuk koruptor

Wacana  hukuman mati bagi para koruptor terus bergulir. Pro kontra antara kelompok yang mendukung maupun menolak, semakin panas. Ketua Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Denny Indrayana menyatakan secara tegas setuju dengan penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Catatannya, diberikan ketentuan pada tingkatan korupsi seperti apa hukuman tersebut dapat diterapkan. “Menurut saya, kasus kejahatan yang patut dijatuhi hukuman mati adalah korupsi. Korupsi ini mempunyai kesamaan dampak buruk dengan kejahatan lainnya, bahkan lebih besar dampaknya.
Tapi harus diterapkan dengan karakteristik-karakteristik tertentu,” kata Denny dalam diskusi “Hukuman Mati bagi Koruptor” di Jakarta, Sabtu (26/7). Karakteristik yang dimaksud Denny, melihat kasus korupsi dari sisi jumlah korupsinya dan apakah pelaku pernah dihukum untuk kasus korupsi. “Jadi, kalau dia sudah pernah korupsi, kemudian korupsi lagi berarti inikan tidak ada efek jeranya,” kata dia. Pengamat sosial, Fajroel Rahman justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, penerapan hukuman mati merupakan tindakan pelanggaran HAM. “Ini lebih ke sifat moral, hanya Tuhan yang punya hak untuk mencabut nyawa manusia. Saya pernah satu sel dengan orang yang akan dihukum mati, saya tahu betul bagaimana rasanya menanti eksekusi. Saya pikir, hukuman seumur hidup lebih dari cukup untuk menghukum seeorang,” ujar Fajroel. Kata Denny, jika dilihat dari proses eksekusi, ia setuju jika hukuman mati tidak manusiawi. Sebab sebelum eksekusi, seorang terpidana harus menunggu untuk waktu yang lama dan proses yang bertele-tele.
Kedepannya, ia mengatakan, perlu adanya waktu eksekusi yang jelas. Sehingga tidak membuat terpidana hukuman mati terkatung-katung. “Tapi, walaupun hukum kita membuka peluang untuk itu, kita belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Hingga saat ini, yang hilang dari sistem hukum kita adalah penjeraan,” kata Denny. Anggota Komisi III DPR, Soeripto berpendapat, penerapan hukuman mati bagi koruptor dapat dilakukan secara bertahap. Ia mencontohkan, bisa diterapkan dalam jangka waktu 10 tahu kedepan, kemudian dilakukan evaluasi. “Untuk konteks Indonesia, hukuman mati bagi koruptor ini harus diterapkan. Kondisi di Indonesia saat ini, menurut saya, sangat memenuhi untuk menerapkan itu. Tapi harus diterapkan jangan pilih-pilih,” ujar Soeripto.


Hukuman mati untuk koruptor

Senin, 25 April 2011

Perjanjian Memakai Jasa Pekerja Seks Komersial

perjanjian di antara seorang pekerja seks komersial (PSK) dengan pelanggannya. Kesepakatan keduanya adalah menyepakati bahwa pelanggan membayar sejumlah uang dan PSK memberikan tubuhnya untuk dipakai oleh pelanggan. Apakah perjanjian yang mereka lakukan ini dapat dikatakan suatu perjanjian berdasarkan BW?

diuraikan terlebih dahulu syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) atau disebut juga Burgerlijk Wetboek (“BW”). Syarat sahnya perjanjian dapat Anda simak dalam boks di bawah ini.
 
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1.   Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2.   Kecakapan para pihak dalam perjanjian
Syarat SUBJEKTIF
3.   Suatu hal tertentu
4.   Sebab yang halal
Syarat OBJEKTIF
 
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan(dapat diajukan pembatalannya). Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (dianggap tidak pernah ada perjanjian sebelumnya).
 
Lebih jauh mengenai sebab yang halal, dalam Pasal 1337 KUHPerdata dijelaskan (secara a contrario) bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
 
Jadi, obyek perjanjian haruslah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam konteks pertanyaan Anda, praktik pelacuran termasuk perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, khususnya Pasal 289 jo Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai percabulan. Perbuatan tersebut juga dilarang oleh Pasal 2 jo Pasal 1 ayat (7) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengenai eksploitasi orang yang termasuk pelacuran.
 
Di samping itu kegiatan seorang pekerja seks komersial (PSK) dengan memberikan tubuhnya untuk dipakai (dieksploitasi secara seksual) oleh orang lain juga bertentangan dengan norma kesusilaan di masyarakat.
 
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam keadaan apapun kegiatan yang dilakukan PSK dengan pelanggannya tidak termasuk dalam perjanjian yang dimaksudkan dalam KUHPerdata/BW.
 
 
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetboekStaatsblad 1847 No. 23)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)

hhm.....jd bingung kok ada perjanjian dengan PSK ya..

istilah hukum dalam pengadilan

Juncto diartikan "dihubungankan/dikaitkan" dapat berupa undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan "jo". 

Misalnya : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta 
sebagaimana telah diubah dengan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dalam hal ini dapat disingkat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1982.

Di dalam suatu persidangan seringkali terdakwa diancam lebih dari 1 (satu) dakwaan maka dibuat ada beberapa dakwaan:

Primair dan Subsidair merupakan tingkatan dakwaan. Primair merupakan dakwaan yang paling berat dan harus dibuktikan terlebih dahulu sedangkan 
Subsidair Subsidair dakwaan yang lebih ringan.

Misalnya :
Terdakwa terkena 3 kasus :Primair pasal 340 KUHP merupakan pembunuhan yang direncanakan.
Subsidair pasal 338 KUHP merupakan pembunuhan biasa
Lebih Subsidair pasal 351 KUHP penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain.

Sehingga jika dalam pembuktian terdakwa tidak terbukti melakukan dakwaan Primair maka Jaksa dapat menjerat terdakwa dengan dakwaan Subsidair dan jika terdakwa tidak terbukti melakukan dakwaan Subsider maka Jaksa dapat menjerat dengan dakwaan Lebih Subsidair dan seterusnya.

Eksepsi merupakan sanggahan/keberatan-keberatan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap surat dakwaan tetapi belum menyangkut pokok perkara.

Replik adalah tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap isi dari Eksepsi terdakwa/penasehat hukum terdakwa.

Duplik adalah tanggapan dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa terhadap isi dari dakwaan.

Amar atau diktum yaitu isi dari putusan pengadilan.

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang harus dilaksanakan oleh terpidana (kasus pidana) tergugat (kasus perdata).

Tips memilih Advokat yang Profesional

Proses memilih Advokat yang sesuai dengan kebutuhan hukum adalah hampir sama dengan proses memilih Dokter, Akuntan, Notaris, Arsitek dan pekerja profesional lainnya. Tentu dengan menjamin profesionalisme dalam pekerjaannya, seorang Advokat harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi klien, sehingga klien dapat menilai dan percaya akan kwalitas kerja si Advokat. Perlu kehati-hatian dan ketelitian klien dalam memilih Advokat untuk menangani urusan hukumnya. Agar tidak keliru dalam memilih Advokat yang dibutuhkan, perlu ditempuh beberapa tips di bawah ini:

1. Pastikan bahwa si Advokat tersebut benar-benar nerupakan Advokat resmi   yang memiliki izin praktek yang masih berlaku dan bukan pengcara “gadungan”. 2. Pastikan bahwa si Advokat memiliki kwalifikasi yang baik dalam bidang hukum tersebut.
3. Pastikan bahwa si Advokat tidak memiliki konplik kepentingan (conflict interest) dalam kasus yang ditangani.
4. Pastikan bahwa si Advokat tidak akan melakukan kongkalikong dengan pihak lawan atau Advokat pihak lawan.
5. Pastikan bahwa si Advokat tersebut memiliki track record yang baik dalam bidang Advokat termasuk menyangkut etika, moral dan kejujurnnya.
6. Pastikan bahwa si Advokat tersebut tidak pernah terlibat dalam malpraktek hukum.
7. Pastikan bahwa si Advokat adalah type pekerja keras dan berdedikasi tinggi akan profesinya serta benar berkerja demi kepentingan kliennya, bukan Advokat yang hanya pintar bicara lalu minta bayaran tetapi tidak becus membela kepentingan kliennya.
8. Jika anda ragu akan kredibiltas seorang Advokat mintakanlah foto copy Izin Praktek Advokat yang bersangkutan (berwarna biru) yang diterbitkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI),
9. Bahwa, jika anda diperlakukan tidak sepatutnya oleh oknum Advokat, maka anda dapat melaporkan yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Gedung Grand Soho Slipi, Lantai 11, Jl. S.Parman Kav. 22-24
Jakarta Barat 11480, Telp: +62 21 2594 5192  / Fax: +62 21 2594 5173
http://lbhbogor.blogspot.com

KPK Tangkap Sekretaris Kemenpora


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tiga orang yang diduga melakukan tindak pidana suap. Ketiga orang itu adalah Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) berinisial WM, dan dua orang lainnya berinisial MI dan R.

Hal ini dibenarkan oleh Juru Bicara KPK Johan Budi dalam pesan pendeknya yang diterima hukumonline, Jum’at (22/4). Menurutnya, ketiga orang ini masih dalam pemeriksaan penyidik KPK. Sehingga, belum diketahui pasal apa yang dikenakan dan dimana ketiga orang ini akan ditahan.

“Belum. Masih diperiksa. KPK punya waktu 1x24 jam. Nanti kalau sudah selesai akan diinfokan,” katanya. Johan melanjutkan, dari penangkapan yang terjadi kemarin malam, Kamis (21/4), penyidik KPK menyita sejumlah barang bukti. Salah satunya adalah cek senilai Rp2,2 miliar.

Oleh karena ketiganya masih dalam pemeriksaan penyidik KPK, maka belum banyak informasi yang dapat diberikan Johan. Namun, dalam pemberitaan sejumlah media, ketiganya ditangkap pada pukul 19.00 WIB di sekitar kantor Kemenpora.

Ketiganya diduga sedang melakukan transaksi suap terkait proyek pembangunan wisma altlet yang akan digunakan untuk sarana SEA Games di Jakabaring, Palembang. Pemerintah Daerah Palembang telah mengalokasikan dana sekitar Rp200 miliar untuk pembangunan sarana SEA Games tersebut.

Dan, untuk menyelenggarakan proyek pembangunan wisma atlet itu, Pemerintah Daerah Palembang menggandeng sebuah perusahaan bernama PT Duta Graha Indah. Tapi, hingga kini, pembangunan wisma yang ditargetkan selesai pada bulan Juli 2011 ternyata belum rampung juga.

Padahal, Pemerintah Daerah Palembang berencana menjadikan wisma itu sebagai tempat penginapan para atlet SEA Games yang dapat menampung sekitar 4000 peserta. Hanya ini saja informasi yang didapat dari pemberitaan sejmlah media.

KPK sendiri belum dapat memberikan informasi lebih jauh mengenai peran dan keterlibatan ketiga orang itu, karena penyidik KPK masih melakukan pemeriksaan. Dan terkait perkembangan pemeriksaan serta dimana ketiga orang ini akan ditahan, Johan berjanji akan menginformasikan lebih lanjut.

hhmm....Korupsi tak pernah habis..

Kejaksaan Diusulkan Tidak Lagi Menyidik Korupsi

Dalam revisi UU Kejaksaan sempat mengemuka apakah penyidikan kasus korupsi bisa tetap dipegang oleh Jampidsus atau diserahkan sepenuhnya ke Kepolisian.4
(0 votes, average: 0.0 out of 5)
  Print  

“Jaksa enak benar, boleh menyidik tindak pidana ekonomi saja (kasus korupsi,-red). Perkara gorok menggorok dan rampok diserahkan ke polisi,” keluh mantan Kapolri Awaloedin Djamin dalam saatsidang pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), pada akhir 2008.

UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan memang memberikan kewenangan penyidikan kasus-kasus ekonomi (korupsi) kepada kejaksaan. Jadi untuk perkara jenis ini, penyidikan dan penuntutan dipegang oleh Kejaksaan sekaligus. Sementara, untuk kasus-kasus pidana umum seperti pembunuhan, penipuan dan sebagainya disidik oleh polisi, dan kemudian dilimpahkan ke jaksa sebagai penuntut umum.

Sejarahnya, Kejaksaan dan Polri memang seringkali memperdebatkan kewenangan masing-masing lembaga. Keduanya, terkesan berebutan lahan kewenangan, termasuk soal penanganan kasus korupsi.

Perdebatan yang sama ternyata juga muncul di DPR dalam pembahasan revisi UU Kejaksaan. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Dimyati Natakusumah mengakui perdebatan ini juga terjadi. “Ini masih debatable. Tetap di Kejaksaan atau Kepolisian,” ujar Dimyati yang juga menjabat Ketua Panja RUU Kejaksaan ini kepada hukumonline, Selasa (19/4).

Dimyati mengungkapkan perdebatan ini mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan beberapa narasumber. “Ada yang bilang kejaksaan tetap perlu (memiliki kewenangan menyidik,-red), karena bagaimana melaksanakan penuntutan kalau tidak tahu anatomi perkaranya,” sebutnya. Namun, tak sedikit yang meminta agar kewenangan ini diserahkan keKepolisian yang memang bertugas melakukan penyidikan. 

Sejumlah narasumber memang telah dihadirkan oleh Panja RUU Kejaksaan. Mereka, di antaranya Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, Penasehat Kapolri Chaerul Huda, Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Dihubungi melalui sambungan telepon, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Peradi Hasanuddin Nasution mengaku perdebatan ini sebenarnya tidak mengemuka ketika Peradi hadir di Baleg. Namun, ia berpendapat seharusnya kewenangan kasus korupsi memang diserahkan kepada Kepolisian.

“Kalau kita concern kepada penegakan hukum secara fungsional, yakni memperkuat Kejaksaan. Seharusnya fungsi mereka harus diperkuat sebagai jaksa penuntut umum. Sedangkan, untuk kepolisian, saya cenderung memperkuat dengan mengembalikan fungsi penyidikan oleh kepolisian di seluruh bidang, termasuk kasus korupsi,” jelasnya, Kamis (21/4).

Hasanuddin menuturkan bila ingin konsisten pada fungsi kelembagaan penegak hukum maka jaksa dan polisi harus profesional terhadap tugasnya masing-masing. Berdasarkan KUHAP, kewenangan jaksa jelas melakukan penuntutan, sedangkan kepolisian berwenang melakukan penyidikan.

Diberikannya kewenangan penyidikan kasus korupsi ke Kepolisian, lanjut Hasanuddin, memang bukan tanpa kendala. Kelak, mungkin ia akan melihat adanya bolak-balik berkas perkara dariKepolisian di tingkat penyidikan dan Kejaksaan di tingkat penuntutan. Ini kerap terjadi dalam kasus-kasus tindak pidana yang disidik oleh Kepolisian.

“Kendalanya pasti ada. Masalahnya, kita mau memperkuat aparatur penegak hukum secara kelembagaan dan profesionalitas atau nggak?” tuturnya.

Konsisten
Berdasarkan catatan hukumonline, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutus persoalan ini dalam pengujian UU Kejaksaan. Kala itu, dalam pertimbangannya, MK meminta agar pembentukundang-undang berlaku konsisten untuk memberikan kewenangan penyidikan kasus korupsi kepada Kepolisian dan Kejaksaan.

“Apabila pilihan pembentuk undang-undang menetapkan Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana tertentu, maka seyogianya Kepolisian ditentukan tidak lagi berwenang. Sebaliknya, apabila wewenang penyidikan memang sepenuhnya akan diberikan kepada Kepolisian, maka jaksa hanya berwenang melakukan penuntutan,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu.

RM Panggabean, Kabid Penerapan Hukum dan undang-undang dalam Divisi Pembinaan Hukum Polri kala itu, memang menuturkan bahwa masih ada beberapa kasus korupsi yang bisa disidik oleh polisi, walau jumlahnya sangat kecil. Namun, tindakan penyidikan pidana khusus oleh kepolisian ini selalu mentok di Kejaksaan. “Seakan ada sentimen dari penuntut umum kepada Kepolisian,” ujarnya.

Mahkamah, masih dalam pertimbangannya, juga menyarankan agar pembentuk undang-undangsegera merevisi peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk KUHAP, UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. Bola panas itu pun saat ini sedang bergelinding di DPR. Kita tunggu saja, bagaimana kelanjutannya.

tiket online

Space Banner

Cafe Bisnis Online

Free Hosting